Selasa, 19 Januari 2016

Sekaten sebagai Budaya Islam dalam Membangun Masyarakat Berakhlak



MAKALAH
Sekaten sebagai Budaya Islam dalam Membangun Masyarakat Berakhlak
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs.H.Edy Yusuf  Nur SS MM Msi MBA




                                                                    


                                                                          
Disusun Oleh :
KELOMPOK 9
Mohammad Shofiyulloh (13490058)
Mohammad Ma’sum Yusron (13490074)
Ardhitya Furqon Wicaksono (13490034)
Mariana Ulfa (13490063
)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
2014
1.      Pengertian Sekaten sebagai Budaya Islam

Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari kata Sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat pelacuran dan penyelewengan ), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan), Sakhotain (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan).[1]
Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah penyakit yang banyak menyebabkan kematian  warga masyarakat. Atas nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam  dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama  kemudian, wabah penyakit tersebut menghilang dan rakyat hidup tenteram. Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selalu diselenggarakan Raja Hindu-Budha secara turun temurun.
Nama Sekaten itu sendiri diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi hasil dari interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan. Proses interaksi tersebut dapat membantu mempercepat  penyebaran agama islam di Pulau Jawa. Di Yogyakarta sendiri sekaten yang menjadi salah satu bentuk adat Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk pertama kalinya diadakan oleh Sultan I Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I. Itulah sebabnya, sejarah Sekaten di Kasultanan Yogyakarta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu sendiri.[2]
 Garebeg Maulud (Sekaten) pada masa Hamengkubuwono I merupakan upacara Kerajaan yang melibatkan seluruh pegawai Keraton, seluruh aparat Kerajaan, dan seluruh lapisan masyarakat. Sekaten yang bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal itu juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemusliman. Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti  Sri Sultan Hamengkubuwono I. Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan perwujudan dari masuknya dan tersosialisasinya Islam ke Indonesia secara damai, karena Islam itu sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di pulau Jawa.  Dalam perkembangannya tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik keraton atau kasunanan, tetapi masyarakat juga merasa ikut. Bagi sebagian besar masyarakat di Provinsi DIY, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan berkah, juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan  Senopati (Soelarto, 1996: 24). Dalam hal ini masyarakat Yogyakarta yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud  selalu mengadakan tradisi Sekatenan menganggap upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan. Selain melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat. 
Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis. Makna religius, berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam dalam Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang tercantum dalam rangkaian gelarnya.  Makna historis, berkaitan dengan keabsahan  Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris yang sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram Islam.  Makna Kultural, berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan  lama.[3]  Keterangan diatas merupakan sejarah dari perayaan Sekaten yang secara terus-menerus menunjukkan toleransi dalam sikap religius dan sikap kultural bangsa Jawa yang merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari ratusan suku bangsa se-nusantara  yang membentuk kepribadian bangsa Indonesia pada masa kini (Soelarto, 1996 : 24).




2.     Sejarah Perkembangan Sekaten


                  Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya  Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan  bagi masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah  penyakit yang banyak menyebabkan kematian warga masyarakat. Atas nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang. Tidak lama kemudian, wabah penyakit reda dan rakyat hidup tentram. Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan  pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selal diselenggarakan Raja Hindu-Budha secara turun temurun. Pada perkembangannya perayaan Sekaten (Garebeg Maulud) di Demak diikuti oleh daerah lain seperti Surakarta,  
                     Yogyakarta, Cirebon, Banten dan Aceh. Khususnya di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon perayaan Maulud disebut Sekaten. Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh Sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi nilai peninggalan dari hasil interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan Non Fisik.[4] Proses interaksi tersebut secara langsung mempercepat proses Islamisasi di Pulau Jawa. Istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab kata syahadatain, pengakuan  percaya kepada ajaran agama Islam, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul-nya.[5] Sekaten selain berasal dari kata syahadatain,
 juga berasal dari kata:
1)      Sahutain
 : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng.
2)      Sakhatain
 : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan.
3)      Sakhotain
: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.
4)      Sekati
 : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk.
5)      Sekat 
 : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan. Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 pecah menjadi dua, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Surakarta (Sala) di bawah  pimpinan Sri Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta yang sekarang.
      Jenderal Daendels menurunkan Sri Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) dari tahta Kerajaan dan menggantikannya dengan Putra Mahkota untuk menjadi Sultan yang ke-III. Meski dalam suasana kemelut tetapi Sekaten tetap diselenggarakan. Seperti waktu garebeg sijam Maulud dan Besar, Beliau (Sultan Sepuh) dipersilahkan datang, Beliau duduk disebelah anaknya. Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya Islam kebumi Nusantara secara damai, karena memang Islam sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di Jawa. Dalam perjalanan sejarah tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik Kerajaan saja, tetapi rakyat DIY merasa ikut memilikinya (melu handarbeni).
               Bagi sebagian besar masyarakat di Propinsi DIY, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan  berkah yang juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati (Soelarto, 1996: 24).


3.     Implementasi Budaya Sekaten dalam Pembentukan Akhlak

                      Pelaksanaan tradisi Sekaten jika dihubungkan dengan teori Kebudayaan Malinowski, yang mengemukakan  bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat yang memiliki unsur kebudayaan itu.[6] Dalam hal ini masyarakat Yogya yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud selalu mengadakan tradisi Sekatenan menganggap Upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan. Selain melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat. Sekaten sebagai instrumen dalam memenuhi kebutuhan religius tetap dilaksanakan oleh masyarakat penerusnya dan mempunyai beberapa makna dan manfaat yang sangat penting sekali. Bagi Keraton tradisi Sekaten tidak hanya  bermakna religius, tetapi juga bermakna historis dan kultural.
A.    Makna Religius
Berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam dalam Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang  
tercantum dalam rangkaian gelarnya : Sayidin Panatagama Kalifatullah.
 Makna historis, berkaitan dengan keabsahan Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram-Islam.
B.     Makna Kultural
 Berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan lama.[7] Dalam Upacara Tradisi Sekaten terdapat gunungan yang merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi masyarakat pendukungnya. Adapun nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung, sirih, dan pecut yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta tersebut sebagai berikut:
1)      Gunungan kakung; Gunungan selain bermakna kesuburan juga mempunyai arti simbolik lain, gunungan kakung melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak, sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar untuk kejayaan keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten. Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan adanya proses  penciptaan manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di samping itu gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya. Manusia yang dimaksud adalah seorang ksatria utama yang menggambarkan seorang figur manusia ideal bagi orang Jawa.
2)      Bendera merah putih; Bendera ini ditempatkan pada ujung gunungan,  berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan warna putih.


4.     Prosesi Sekaten sebagai Sarana Pengembangan Akhlak
Perayaan sekaten sebagai upacara tradisional keagamaan islam merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya islam ke bumi nusantara. Tradisi sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu, kulturisasi, religious, dan historis.
            Sekaten yang menganut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan islam dalam membentuk akhlak dan budi luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwana I.[8]
            Dengan adanya dua pernyataan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa nilai sekaten mempunyai peran penting dalam dakwah islam, karena dalam menyebarkan suatu agama dalam masyarakat yang sangat meninggikan adat tidaklah mudah, seperti apa yang terjadi pada negri ini di awal masuknya ajaran islam.
Hindu-Budha merupakan suatu kepercayaan awal yang masuk ke Indonesia sebelum islam datang. Hal tersebut terbukti ketika kita mulai merunut kembali sejarah pada abad silam ketika agama atau kepercayaan mulai berkembang di Indonesia. Pada abad ke-4 hindu datang dengan segala kebudayaan dan ajarannya yang meninggalkan bukti sejarah berupa Candi Prambanan, Candi Tikus, dan candi-candi bercorak hindu lainnya.
Pada abad selanjutnya budha pun mulai masuk dan berkembang ke nusantara dan yang terakhir adalah islam. Islam datang dibawa oleh para pedagang Gujarat, Arab, dan Persi melalui berbagai cara seperti perdagangan atau perkawinan. Untuk mengenalkan islam yang datangnya setelah Hindu-Budha bukanlah suatu hal yang mudah.
Kiprah para wali (Penyebar Islam di Pulau Jawa) atau yang lebih dikenal dengan Walisanga sangat lah penting karena mereka memiliki siasat tersendiri untuk memperkenalkan islam kepada masyarakat Indonesia yang masih kental dengan kepercayaan lamanya yaitu Hindu-Budha, ditambah dengan keadaan masyarakat jawa yang terkenal dengan sifatnya yang konservatif dan sulit menerima ajaran baru apalagi yang bertentangan dengan adat jawa.
Di awal berdirinya Keraton Yogyakarta Hadiningrat inilah para leluhur islam mengenalkan agamanya yang dimasukkan dalam budaya Hindu-Budha dan jawa yang sering dikenal dengan sebutan Islam Abangan atau Islam Kejawen tanpa meninggalkan pokok-pokok ajaran islam itu sendiri. Salah satu cara memasukkan islam dalam budaya jawa yaitu dengan diadakannya upacara-upacara adat yang dilakukan setiap hari-hari besar agama islam. Seperti upacara adat yang terkenal di Yogyakarta adalah Upacara Sekaten.[9]
Sekaten dilaksanakan guna memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dewasa ini nilai sekaten yang merupakan salah satu jalan dakwah islam mulai mengalami degradasi karena saat ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik local maupun interlokal.
            Salah satu sarana dakwah para wali dalam mengembangkan islam di ranah jawa ini adalah dengan sekaten. Sekilas mendengar nama sekaten sama sekali tidak mengisyaratkan suatu ritual yang berbau islam. Akan tetapi sekaten sebenarnya sarat makna dan mengandung nilai islami.
            Istilah sekaten berasal dari bahasa arab yaituanlaa ilaa haillallah wa asyhadu anna Muhammadar rosulullah”, yang artinya Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusannya. Syahadat inilah yang menjadi syarat keislaman seseorang yang benar-benar ingin memeluk islam. Karena sekaten ini berkembang di jawa, maka syahadatain  lebih mudah diucapkan oleh masyarakat jawa dengan sebutan sekaten.
            Sekaten sendiri memiliki makna dalam bahasa jawa yang berarti sekati yang artinya adalah setimbang. Tentunya diharapkan agar manusia bisa menimbang hal yang baik dan yang buruk. Sehingga ketika kita menyebut kata sekaten kita selalu diingatkan agar selalu berhati-hati dalam menimbang suatu hal.
            Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak pada abad 16. Saat  itu orang jawa beralih memeluk Agama Islam dengan mengucap syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan  nama sekaten pada perayaan itu sangat terkenal. Perayaan sekaten ini menjadi salah satu perayaan turun temurun di Keraton Yogyakarta sehingga menjadi perayaan tahunan yang juga dirayakan oleh masyarakat.[10]
            Sejarah sekaten ini berawal dari Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 yang kemudian pecah menjadi 2, ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Sala di bawah pimpinan Sri Sultan Pakubuwana III dan Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwana X. Pemecahan Kerajaan Mataram menjadi 2 ditentukan dalam perjanjian Gianti.
            Pusaka keraton dibagi 2, seperti halnya gamelan Kasunanan Surakarta memperoleh gamelan Kyai Guntursari dan Kasultanan Ngayogyakarta mendapat gamelan Kanjeng Kyai Gunturmadu. Supaya seimbang lalu dibuat perangkat gamelan lainnya yang diberi nama Kanjeng Kyai Nagawila, yang nantinya gamelan ini digunakan dalam setiap perayaan sekaten dan menjadi alat music khas perayaan sekaten.
            Sekaten yang menjadi salah satu bentuk upacara adat Keraton Kasultanan Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I. Sehingga sejarah sekaten menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah berdirinya Kraton Yogyakarta. Sri Sultan berkehendak menyelenggarakan upacara yang selalu diselenggarakan oleh raja-raja sebelumnya. Hal ini sebagai usaha melestarikan adat dan menunjukkan sikap tradisional orang jawa dalam memuliakan leluhurnya.
Adanya upacara sekaten juga ini tidak bisa terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang didirikan oleh Walisanga pada tahun 1477 M. Awalnya masjid ini hanya berfungsi sebagai tempat interaksi antara Allah dengan hambanya. Seiring berjalannya waktu masjid ini menjadi multi fungsi karena digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan, tempat musyawarah para wali, dan sebagai prasarana penyelenggaraan perayaan sekaten yang merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal 12 bulan Maulid. [11]
            Sekaten bukan saja upacara yang berlangsung dalm waktu yang singkat, tetapi sekaten melalui beberapa ritual yang tertata rapi dan penuh makna. Di bawah ini adalah serangkaian prosesi dari awal mulainya upacara sekaten dimulai sampai penutup.
1)      Perayaan Upacara Sekaten diawali dengan diadakannya slametan atau wilujengan yang memiliki tujuan untuk mencari ketenangan. Dengan adanya slametan ini berarti dimulali lah pembuatan gunungan. Perayaan ini juga menjadi pertanda akan adanya kegiatan pasar malam perayaan sekaten. Pasar malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan grebeg maulud tiba.
2)   Satu minggu sebelum puncak acara, merupakan adat kebiasaan yang harus dilakukan yaitu mengeluarkan gamelan pusaka dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk diletakkan di pagongan utara dan pagongan selatan atau miyos gongso. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali hari Jum’at.
3)  Rangkaian upacara sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik, upacara ini sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara ini diawali dengan iringan gejog lesung yang dilakukan oleh abdi dalem konco gladhak. Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara dimulai diberi sesaji oleh abdi dalem agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Kemudian upacara siap dimulai.
4)   Acara selanjutnya dilaksanakan miyos dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi dalem keraton, dan mas jogja. Miyos dalem ini merupakan pembacaan sirotun nabi (Riwayat hidup Nabi Muhammad). Sebelum miyos dimulai Sri Sultan menyebar udhik-udhik di depan pintu pagongan selatan dan pagongan utara. Miyos dalem berakhir dengan ditandai pelaksanaan kondur gongsu atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton. Pada saat miyos ini Sri Sultan menuju ke masjid agung didahului 4 bergodo prajurit. Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan upacara sekaten yang akan mencapai puncak acara pada keesokan harinya.[12]
5)   Sebagai rangkaian upacara terakhir dari tradisi sekaten yaitu puncak acara grebeg maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya hajad 6 gunungan tepat tanggal 12 bulan Maulud. Gunungan dibawa ke masjid untuk didoakan yang dipimpin oleh penghulu dan kemudian gunungan menjadi rebutan masyarakat yang menonton.
            Sekaten yang seharusnya menjadi sarana dakwah bernafaskan religi, sejarah, dan kultur kini seakan hanya menjadi pelengkap saja dan tiada lagi menjadi prioritas. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang ironis terkait dengan tujuan awal para wali dan leluhur penggagas terlaksananya sekaten sebagai upacara adat ajang penyebaran agama islam.
            Jika kita sedang menyaksikan upacara sekaten ada baiknya jika kita juga menyempatkan diri untuk menela’ah makna dan nilai-nilai religi, sejarah, dan kebudayaan yang tersirat dalam setiap ritualnya. [13]
Ø  Nilai Religi
Di dalam salah satu ritual sekaten ada sesi pembacaan riwayat Nabi Muhammad sebagai salah satu utusan Allah yang diperntahkan sebagai rahmatan lil alamien yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehingga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi ini pun dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.
Ø  Nilai Sejarah
Di lihat dari sejarahnya sekaten tidak bisa terlepas dari peran para wali sebagai penyebar agama islam di Pulau Jawa yang menjadikan sekaten suatu sarana dakwah islam dan berkaitan dengan keberadaan sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram sebagai pencetus awal diadakannya sekaten. Sehingga yang harus dilakukan untuk merealisasikan nilai-nilai sejarah adalah dengan tetap memaknai sekaten sebagai media dakwah dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari
Ø  Nilai Budaya
Nilai sekaten sangat relevan dengan kebudayaan, karena sekaten merupakan percampuran antara kebudayaan jawa, Hindu-Budha, dan islam. Dimana kebudayaan jawa sangat gemar sekali menyelipkan makna tersirat dalam bentuk symbol atau lambang pada setiap kejadian penting, dan kebudayaan Hindu-Budha yang peribadatannya sangat erat dengan ritual-ritual. Hal ini lah yang menjadi inspirasi para wali dalam mengemas ajaran islam dalam budaya jawa, hindu dan budha yang terangkai dalam upacara adat sekaten. Di dalam sekaten ada yang disebut gunungan yang mempunyai arti lambang kemakmuran, digunakan sirih yang mengeluarkan warna merah yang berarti diharapkan bisa menyadarkan manusia akan dirinya, nginang memiliki makna dapat membuat awet muda, dan telur merah sebagai lambang dari kehidupan.

5.     Prosesi Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
                     Upacara Sekaten merupakan upacara dan perayaan Keraton terbesar, karena pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW, sehingga dalam melaksanakan persiapan perayaan Sekatenan, khususnya Abdi Dalem Keparak Para Gusti harus benar-benar dalam keadaan suci.[14] Ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dan kekhusyukan nilai religius dalam peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12  bulan Maulud. Pada peringatan upacara Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Abdi Dalem tetap mengenakan pakaian tradisional yaitu baju pranakan beserta  perlengkapannya dan baju kebesaran yang lain sesuai dengan tugasnya waktu  pelaksanaan Sekatenan. Pelaksanaan upacara Sekaten pada masa pemerintahan
 
               Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X banyak terdapat kesamaan, baik dari rangkaian upacara maupun gunungan yang dipergunakan dalam upacara Garebeg Maulud itu. Penyelenggaraan upacara Sekaten ternyata masih dapat diterima baik oleh masyarakat setempat walaupun zaman banyak mengalami perubahan. Upacara Sekaten tidak hanya dipadati oleh kalangan pemuda-pemudi yang ingin mencari hiburan, tetapi juga masyarakat yang sudah lanjut usia juga memadati Alun-alun untuk mendapatkan berkah. Itu dapat diperhatikan ketika gunungan diperebutkan oleh masyarakat. Sebagian masyarakat berusaha untuk mendapatkan bagian dari gunungan itu, seperti hiasan telur ataupun hiasan kue-kue.
                Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka akan mendapatkan berkah.[15] Biasanya setelah mereka mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka meletakkan bagian dari gunungan itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah yang mereka miliki dapat tumbuh subur dan panen dapat berhasil. Selain bagian dari gunungan, yang menjadi sasaran dari masyarakat ialah hiasan bunga melati yang dipakai pada keris Pandega atau Manggala Yuda GBPH. Drs.H. Prabu Yudaningrat, M.M diminta oleh masyarakat. Itu semua karena adanya rasa kepercayaan masyarakat Jawa terhadap kekuatan lain. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan sesuatu milik keluarga Keraton, mereka akan mendapatkan  berkah dari benda yang dimilikinya. Secara garis besar, upacara Sekaten pada masa Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X melibatkan peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan dan perkembangannya serta banyak terdapat kesamaannya. Adapun rangkaian upacara Sekaten pada Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X melibatkan Abdi Dalem secara signifikan, diantaranya pada kegiatan :
a.       Perayaan Upacara Sekaten pertama kali diawali dengan diadakannya Slametan atau   Wilujengan, bertujuan untuk mencari ketentraman dan ketenangan. Slametan ini menandai dimulainya pembuatan ubo rampai atau perlengkapan gunungan.[16] Ini juga menandai kegiatan Pasar Malam Perayaan Sekaten dimulai. Pasar Malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan Garebeg Maulud tiba. Pada perayaan Sekaten ini masyarakat  banyak yang berkunjung hanya sekedar untuk mencari hiburan atau membeli makanan khas yang dijual pada Pasar Malam itu.
b.      Satu minggu sebelum puncak acara Sekaten (jum’at pahing) jam 21.00 WIB gamelan dikeluarkan dari Keraton dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk kemudian diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos Gongso oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo yang  bertugas dalam bidang kesenian dan Abdi Dalem Konco Gladhag yang membawa gamelan serta perangkatnya dari Keraton ke Pagongan Utara dan Pagongan Selatan Masjid Agung Yogyakarta. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali pada jam-jam tertentu yaitu saat azan dikumandangkan dan hari jum’at.
c.       Gamelan dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo. Instrumen Jawa atau gamelan dipakai sebagai bentuk kesenian yang paling digemari rakyat Jawa, karena dapat dipakai sebagai media atau alat untuk dakwah Islam dengan membunyikan gamelan Jawa dan segala macam  bentuk keseniannya maka rakyat akan datang.


d.      Upacara Numplak Wajik, yang  bertempat di Magangan Kidul Upacara Numplak Wajik sebagai awal dimulainya  pembuatan gunungan wadon. Upacara Numplak Wajik diawal dengan iringan Gejog Lesung yang dilakukan oleh Abdi Dalem Konco Gladhag. Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara ini dimulai biasanya diberikan sesaji oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Pada upacara Numplak Wajik ini, Abdi Dalem Bupati Kawedanan Hageng Punokawan Widyobudoyo juga hadir untuk memimpin jalannya upacara Numplak Wajik.
e.       Acara selanjutnya, jam 18.30 WIB dilaksanakan Miyos Dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar Keraton, para Bupati, Abdi Dalem Keraton dan masyarakat Yogya. Selain itu, juga ada banyak wisatawan mancanegara yang sengaja hadir untuk menyaksikan Miyos Dalem milik sejuta umat itu. Pada upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan  diberikan kepada Pakualaman inipun menjadi rebutan masyarakat sekitar yang hadir. Setelah semuanya berjalan lancar, kemudian pandega melapor kepada manggala yuda bahwa Upacara Garebeg Maulud telah selesai, lalu manggala yuda memberikan izin agar semua prajurit ditertibkan. Semua prajurit kembali ke Kagungan Dalem Pracimasana melalui Bangsal Siti Hinggil dan Bangsal Ponconiti.[17] Dengan demikian, upacara Sekaten telah berakhir dengan ditandai  pelaksanaan puncak acara Garebeg Maulud Upacara Sekaten dari zaman Sultan-sultan terdahulu sebagai upacara adat Keraton, dan sampai sekarangpun upacara Sekaten tersebut masih dianggap sebagai upacara yang sudah dimiliki oleh KeratonYogyakarta selama bertahun-tahun.
                                            


Perayaan sekaten bertepatan dengan hari raya Maulud Nabi, yang merupakan tradisi kelanjutan para wali. Gamelan ditabuh saat sekaten dengan maksud untuk menarik para masyarakat. Sekaten dilaksanakanjuga untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad S.a.w.
Didalam sekaten karena pengunjungya sangat banyak maka diadakan kotbah-kotbah yang bernuansa Islam untuk menggugah keimanan mereka agar menghayati perintah Nabi.

a.      Makna Sekaten dalam Dakwah Islam
Sejarah perayaan sekaten tidak terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang didirikan Walisanga. Masjid inilah yang dijadikan sebagai tempat perayaan lahirnya Nabi Muhammad. Penggunaan nama sekaten syarat makna dan nilai. Kata sekaten diambil dari kata syahadat yang merupakan syarat keislaman seseorang. Di jawa kata syahadatain ini lebih mudah diucap dengan kata sekaten.
Prosesi ritual sekaten diawali dengan adanya selametan dan dilengkapi dengan dibukanya pasar malam. Sebelum puncak acara, dilakukan pemindahan gamelan dari keraton untuk di bawa ke pagongan utara dan selatan. Rangkaian upacara selanjutnya adalah numplak wajik yang diiringi gejok lesung. Kemudian dilaksanakannya acara miyos dalem( Pembacaan riwayat Nabi Muhammad) di Masjid Agung. Prosesi terakhir dalam sekaten yaitu grebeg maulud yang merupakan puncak acara dan ditandai dengan dikeluarkannya gunungan yang akan diperebutkan masyarakat.
Sekaten bukan lah upacara adat biasa, akan tetapi sekaten memiliki nilai dan makna yang tersirat dalam setiap prosesi ritualnya. Seperti adanya nilai religi, sejarah, dan budaya. Dan hal  itu akan tampak jika kita benar-benar mau mengkajinya lebih dalam.
Sebagai masyarakat jawa yang terkenal dengan adat ketimuran dan selalu menjaga amanah dari para leluhurnya agar senantiasa melestarikan upacara adat yang diprakarsai oleh para leluhur seperti upacara sekaten yang penuh misi sebagai sarana dakwah islam. Tidak ada salahnya jika sekaten yang dari masa ke masa selalu mengalami perubahan dan kemajuan, karena mengingat adanya perkembangan zaman. Akan tetapi  tidak seharusnya hal itu mengurangi pokok-pokok dan nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi sampai merubah tujuan awal dari sekaten itu sendiri.

b.      Sejarah Sekaten di Jadikan Upacara Adat Keraton Yogyakarta
Asal mula sekaten dimuali pada jaman demak jaman mulainya kerajaan islam ditanah jawa. Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama islam karena orang jawa pada waktu itu menyukai gamelan, maka pada hari raya islam yaitu pada hari lahirnya nabi Muhammad SAW di masjid Agung dipukul gamelan, sehingga orang berduyun-duyun datang dihalaman masjid untuk mendengarkan pidato.
Mengenai sejarah sekaten ternyata berawal dari kerajaan Mataram yang ber-ibukota di surakarta tahun 1755 yang kemudian pecah menjadi 2, ialah kasunanan Surakarta yang ber-ibukota di sala dibawah pimpinan Sri Sultan Pakubuana III dan kesultanan Yogyakarta yang ber-ibukota di Ambar Ketawang Gamping, kemudian pindah dikota Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuana. Pemecahan kerajaan Mataram menjadi 2 ditentukan dalam perjanjian Gianti.
Pusaka keraton dibagi menjadi 2, seperti hal-nya gamelan kasunanan surakarta memperoleh gamelan Kyai Guntur Sari dan kesultanan Ngayogyakarta mendapat gamelan kanjeng Kyai Guntur Madu. Supaya seimbang dibuat perangkat gamelan lainnya yang diberinama kanjeng Kyai nagawilaya, yang nantinya gamelan ini digunakan dalam setiap perayaan sekaten dan menjadi alat musik khas perayaan sekaten.
Sekaten yang menjadi salah satu bentuk upacara adat kasultanan Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuana I sehingga sejarah sekaten menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah berdirinya keraton Yogyakarta. Sri Sultan berkehendak menyelenggarakan upacara yang selalu diselenggarakan oleh raja-raja sebelumnya. Hal ini sebagai usaha melestarikan adat dan menunjukan sikap tradisional orang jawa dalam memuliakan leluhurnya.

c.       Makna yang terkandung dalam setiap Ritual yang Merupakan Sarana Penyebaran Agama Islam
Saat ini nilai sekaten yang merupakan salah satu jalan penyebaran agama islam mulai mengalami degradasi karena saat ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik lokal maupun interlokal. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang ironis, terkait dengan tujuan awal para wali terlaksananya sekaten sebagai upacara adat ajang penyebaran agama islam.
Salah satu makna religi yang terkandung didalam salah satu ritual sekaten ada sesi dari pembacaan riwayat nabi Muhammad SAW sebagi salah satu utusan Allah yang diperintahkan sebagai Rahmatan Lil-alamien yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehigga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi inipun dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.

DAFTAR PUSTAKA

Soelarto, B. 1996. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta : Kanisius.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. jakarta : Balai Pustaka.
               GPH. Poeger. 2002. Sekaten. Karaton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta
                KRT. Haji Handipaningrat. Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.
               Wignyasubrata. Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.  Yogyakarta : Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton  Nyayogyakrta Hadiningrat.
Semarang : Universitas Negeri Semarang. Saddhono, Kundharu._.
 Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan : Tradisi Sekaten di  Keraton Kasunanan Surakarta.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Agustina Noor Rahmawati. 2002.
Sekaten Tahun Dal dan Pengaruhnya terhadap  Kehidupan Masyarakat Surakarta.
 Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Anton Moeliono (penyunting). 1996.
 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Herusatoto, Budiono. 1987.
     Basid Adnan, 1996, Sejarah Masjid Agung dan Gamelan Sekaten di Yogyakarta, yayasan Mardikintoko,Sala.
Arifin, muhammad,Sejarah Kebudayaan Islam,PT Bintang Ilmu,Surabaya,2011



[1]  K.R.T. Haji Handipaningrat : 3
[2] Soelarto, 1996 : 17).

[3] Soelarto, 1996 : 24
[4] Mustafa, 2004 : 86
[5] Mustafa, 2004 : 148
[6] Roland Robertson (1992 : 53),
[7] Soelarto, 1996 : 24
[8] Soelarto,1996:19
[9] Soelarto,1996:19

[10] Soelarto,1996:19

[11] Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. jakarta : Balai Pustaka.

[12] Soelarto, B. 1996. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta : Kanisius.

[13] Wignyasubrata. Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.  Yogyakarta : Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

[14] . Yogyakarta : Museum Kraton Yogyakarta. Gottschalk, Louis. 1975.

[15] Artikel Theuraphy, 2005 : 1
[16] Setyastuti, 1999 : 106
[17] Yogyakarta : Museum Kraton Yogyakarta. Gottschalk, Louis. 1975.