MAKALAH
Majelis
Ulama Indonesia
Oleh kelompok 8 :
Ardhitya Furqon Wicaksono Nur Azizzah
Fathurozak Johan Maulana Maimunah
Dosen Pembimbing:
Bapak Ahmad Arifi .M.Ag
2013
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah,kami panjatkan rasa puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberkahi kami, sehingga makalah ini dapat selesai dengan tepat waktu. Sholawat serta salam tak lupa kami
ucapkan kepada junjungan Nabi besar kita Muhammad SAW yang
telah memberi jalan yang terang dan mengentas kita dari kebodohan.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak
Ahmad Arifi .M.Ag yang setia membimbing kami
selama masa perkuliahan serta proses penyelesaian makalah ini. Tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu kita dalam penyelasian laporan ini, terutama kepada orang tua kami yang selalu mendoakan kami dimana
pun berada.
Dan tak lupa kami ucapkan maaf atas segala khilaf atas
penulisan makalah ini. Karena kami jua hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan.
Semoga apa yang kami sajikan ini berguna bagi kita semua dan dapat membantu
dalam segala hal.
Yogyakarta , 27 November 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
i
KATA PENGANTAR........................................................................................
ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
4
A. Latar Belakang ......................................................................................... ..
4
B. Rumusan Masalah .................................................................................... ..
5
C. Tujuan Penulisan ...................................................................................... ..
5
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................
6
A.
Sejarah dan Fungsi didirikannya Majelis Ulama Indonesia........................... .6
B. Metode Ijtihad
MUI...................................................................................9
C. Beberapa Contoh Fatwa MUI .................................................................. ..11
BAB III PENUTUP...................................................................................... .
13
A. Kesimpulan .............................................................................................13
B. Saran......................................................................................................... .
13
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... .
14
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Islam
adalah agama yang akan membawa rahmat bagi pemeluknya tidak terkecuali
siapappun itu. Islam jua adalah suatu lembaga dan wadah di dalalm menyelesaikan
suatu permasalahan yang berkaitan dengan segi kehidupan umatnya. Seperti, dalam
bidang ibadah makhdoh kita mengenal di situ ada beberapa hal seperti salat,
puasa, dan ibadah lainnya yang telah diatur di dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun
adakalanya permasalahan yang kotemporer saat-saat ini yang sangat rumit memeng
tidak dapat dibantah kembali dalm penerimaan kehujjahan kita butuh bantuan
Ijtihad dari kaum ulama’ yang berkompeten dalam bidang yang bermasalah ,yang
berupa produk ijma’ dan qiyas.
Itu
semua adalah sumber hukum Islam yang telah dapat dipercaya dan masih banyak
yang lainnya seperti Ihtisan, Urf dll. Itu semuanya akan dibahas secara lengkap
pada pokok pembahasan Usul Fiqh. Namun pada kenyataan masih banyak hal yang
perlu dijadikan patokan agar tercapinya hukum yang baik dan benar secara
syariat dan aturan yang berlaku di suatu wilayah.
Dengan
ketentuan di atas, maka di Indonesia dibentuklah sebuah lembaga perkumpulan
sekumpulan ulama yang akan membantu di dalam penyelesaian masalah kontemporer
yang sedang melanda negeri ini lebih-lebih berhubungan dengan akidah dan
syari’at. Lembaga tersebut adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tugas yang
mereka adalah menyampaikan fatwa atau himbauan yang berhubungn dengan masalah
tersebut. Inilah yang akan kami bahas bagaimnakah keterkaitannya MUI yang
sebagai subjek Hukum Islam di Indonesia dengan upaya pegakan dan penerapan
Hukum Islam di Indonesia.
B.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah dan fungsi didirikannya Majelis Ulama Indonesia ?
2. Bagaimana
metode ijtihad dalam proses penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia ?
3.
Berikan beberapa contoh fatwa Majelis Ulama Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
1. Supaya
kita dapat mengetahui sejarah serta peran fungsi didirikannya MUI.
2. Supaya kita
dapat memahami metode yang dipergunakan oleh MUI dalam proses penetapan fatwa.
3. Agar dapat mengetahui contoh fatwa yang
telah di tetapkan MUI.
BAB II
PEMBAHASAN
MUI ( Majlis
Ulama Indonesia )
A. Sejarah dan Fungsi didirikannya
Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah
atau majelis yang menghimpun para ulama,zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk
menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan
cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395
H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari
pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu'ama yang datang dari
berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam
orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang
merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah,
Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al
Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta
13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan
adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para
ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM
BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang
kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan
ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30
tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan
politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya
bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka
mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah
MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan
perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan
global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan
batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta
pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek
religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat
manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman
umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan
kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan
bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.
Akibatnya umat Islam dapat terjebak
dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu
kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan
silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat
Islam.
Dalam perjalanannya, Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu'ama dan cendekiawan muslim
berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam
mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu
wa Ta'ala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara
ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan
pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta
kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan
mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Dalam khitah pengabdian Majelis
Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul
Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa
khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar
Sampai saat ini Majelis Ulama
Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan
mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka,
KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal
Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia
dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus
berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama ini.
Presiden Soeharto waktu itu berkata:
“Amar ma’ruf
nahi munkar adalah tugas yang sangat mulia, dan tugas ini dipikulkan kepada
Alim Ulama. Oleh karena itu kedudukan ulama dalam masyarakat dan negara
Pancasila ini adalah sangat penting.”
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) disamping sebagai lembaga yang berperan merespon berbagai
persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat melalui fatwa-fatwanya juga
berfungsi sebagai mediator antara umat dan pemerintah. Kedua fungsi ini tentu
saja harus mampu dilaksanakan secara maksimal, dalam arti merealisasikan berbagai
tugas dan tidak berpihak kemanapun.
Mukti Ali
mengatakan: “Dengan berdirinya Majelis Ulama Indonesia ini yang selain di Pusat
juga berdiri di Daerah Tingkat I dan Tingkat II, maka :
- Akan makin terbinalah persatuan dan kesatuan umat
Islam yang dengan itu makin mudahlah para ulama menyatukan pikiran,
pendapat dan langkah umat Islam sendiri.
- Akan berangsur-angsur terkikis suasana
curiga-mencurigai antara para ulama dan pemerintah, sehingga dengan
demikian akan lebih mudah pemerintah dan rakyat menyatukan pendapat dan
langkah untuk berbuat segala sesuatu untuk kepentingan bangsa dan negara
Indonesia.
Salah satu tugas MUI adalah
memberikan fatwa. Persoalannya tidaklah mudah karena mengeluarkan fatwa
merupakan tugas yang penuh resiko. Sebab pertanggungjawabannya bukan saja
kepada masyarakat, tetapi kepada Allah swt.
Komisi fatwa Majelis Ulama
Indonesia menetapkan bahwa fatwa MUI, harus didasarkan pada empat prinsip,
yaitu: al-Quran, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Di samping itu, seorang mufti harus
juga memperhatikan pendapat-pendapat imam-imam mazhab dengan mengadakan
penelitian terhadap dalil-dalil dan bentuk istidlalnya. Hal ini dilakukan untuk
menentukan pendapat yang terkuat dan maslahat bagi umat untuk difatwakan.
Di antara persyaratan dan prinsip yang harus
juga ada pada seorang mufti adalah mengetahui hukum Islam secara mendalam,
begitupun dalil-dalilnya. Mufti tidak dibenarkan berfatwa hanya berdasarkan
pada keinginan dan kepentingan tertentu atau dengan dugaan-dugaan semata.
Tegasnya bahwa setiap menyatakan suatu hukum harus dapat menunjukkan dalilnya,
baik dari al-Quran maupun dari hadis.
MUI juga berprinsip dalam
mengeluarkan fatwa selalu mendahulukan wahyu daripada akal terutama yang berkaitan
dengan kemaslahatan umum, yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta.
B.
METODE IJTIHAD MUI
Metode yang dipergunakan oleh Komisi
Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu
Pendekatan Nash Qath’i, Pendekatan Qauli dan Pendekatan Manhaji.
Pendekatan Nash Qoth’i
dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau Hadis untuk
sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash
al-Qur’an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash
al-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli
dan Manhaji.
Pendekatan Qauli
adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada
pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub
al-mu’tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat
dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub
al-mu’tabarah) dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika
pendapat (qaul) yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi
karena sangat sulit untuk dilaksanakan (ta’assur atau ta’adzdzur
al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan
hukumnya (‘illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan
telaah ulang (i’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama
terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu
yang telah ada bila pendapat tersebut sudah tidak memadai lagi untuk
didijadikan pedoman.
Apabila jawaban permasalahan
tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth’i dan juga tidak dapat
dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub
al-mu’tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui pendekatan manhaji.
Pendekatan Manhaji adalah
pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mempergunakan kaidah-kaidah
pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan metodologi yang dikembangkan oleh
imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu masalah. Pendekatan manhaji
dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad jama’i), dengan
menggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-Jam’u wat
taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi), menganalogkan
permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya
dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah
di kalangan imam mazhab maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha
penemuan titik temu di antara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u
wa al-Taufiq.
Jika usaha al-Jam’u wa al-Taufiq
tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi
(memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat dalil dan argumentasinya),
yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab (muqaran al-madzahib)
dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh perbandingan.
Membiarkan masyarakat untuk memilih
sendiri pendapat para ulama yang ada sangatlah berbahaya, karena hal itu
berarti membiarkan masyarakat untuk memilih salah satu pendapat (qaul) ulama
tanpa menggunakan prosedur, batasan dan patokan. Oleh karena itu, menjadi
kewajiban lembaga fatwa yang memiliki kompetensi untuk memilih pendapat (qaul)
yang rajih (lebih kuat dalil dan argumentasinya) untuk dijadikan
pedoman bagi masyarakat.
Ketika satu masalah atau satu kasus
belum ada pendapat (qaul) yang menjelaskan secara persis dalam kitab
fiqh terdahulu (al-kutub al-mu’tabarah) namun terdapat padanannya dari
masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui metode ilhaqi,
yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus padanannya dalam al-kutub
al-mu’tabarah.
Sedangkan metode Istinbathi
dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan metode ilhaqi karena tidak
ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-mu’tabarah.
Metode istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi, istishlahi,
istihsani dan sadd al-dzari’ah.
Secara umum penetapan fatwa di
MUI selalu memperhatikan pula kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan
intisari ajaran agama (maqashid al-syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan
oleh MUI benar-benar bisa menjawab permasalahan yang dihadapi umat dan
benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan umat untuk dijadikan pedoman dalam
C. Beberapa Contoh
Fatwa MUI
1. Fatwa MUI Tentang
Merokok
Akhir-akhir
ini merak keluar desakan untuk MUI mengeluarkan Fatwa Merokok itu HARAM.Mengapa
merokok haram? selama ini merokok hukumnya adalah makruh lebih condong ke
haram, tetapi tidak haram dari dewan syariah MUI menyampaikan fatwa terbarunya
tentang merokok, yaitu :
“Merokok
Hukumnya adalah HARAM bagi anak-anak dibawah usia 17 Tahun”
Ada beberapa alasan yang melatar
belakanginya, antara lain :
- Selama
ini hukum merokok makruh cenderung atau lebih dekat ke haram
- Larangan
pemerintah melalui PP/Perda yang sudah ada dan berlaku sampai sekarang
tidak banyak yang mengindahkannya atau banyak di langgar. Misalnya
larangan merokok di taman atau di ruang tertentu yang dikeluarkan pemda,
masih juga ada yang merokok di ruang tersebut. (di UII masih adakah
merokok di tempat umum?)
- Perokok
khususnya anak-anak tidak ada manfaatnya sedikitpun, dll
2. Fatwa MUI Tentang Facebook
MUI menyatakan bahwa Facebook bisa menjadi haram dan tidak haram. Menurut
mereka, Facebook haram
tergantung dari cara pemakaian. Kalau tujuan baik dan benar, maka tak ada
larangan menggunakannya, tapi sebaliknya, bila untuk tujuan negatif maka haram.
Jadi itu
semua juga kembali kepada kita sebagai pengguna dari facebook, jika kita
mempunyai keinginan untuk menggunakan facebook untuk melakukan aktifitas yang
negatif mungkin saja kita dapat mengatakan bahwa facebook itu haram, dan jika
kita menggunakan facebook dengan menjalin tali silaturahmi antar sesama maka
facebook mungkin belum dapat dikatakan haram
3. Fatwa
MUI Tentang Perubahan Arah Kiblat
Tentang
diktum dari fatwa MUI No. 03 Tahun 2010 tentang Kiblat disebutkan, pertama, tentang ketentuan hukum.
Dalam kententuan hukum tersebut disebutkan bahwa: (1) Kiblat bagi orang shalat
dan dapat melihat ka’bah adalah menghadap ke bangunan Ka’bah (ainul ka’bah).
(2) Kiblat bagi orang yang shalat dan tidak dapat melihat Ka’bah adalah arah
Ka’bah (jihat al-Ka’bah). (3). Letak georafis Indonesia yang berada di bagian
timur Ka’bah/Mekkah, maka kiblat umat Islam Indonesia adalah menghadap ke arah barat. Kedua, rekomendasi. MUI
merekomendasikan agar bangunan masjid/mushalla di Indonesia sepanjang kiblatnya
menghadap ke arah barat,
tidak perlu diubah, dibongkar, dan sebagainya.
4. Fatwa MUI Tentang Aliran Ahmadiyah
Menegaskan kembali keputusan fatwa MUI dalam Munas II Tahun 1980 yang
menetapkan bahwa Aliran Ahmadiyah berada
di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah
murtad (keluar dari Islam). Bagi mereka yang terlanjur mengikuti
Aliran ahmadiyah supaya segera kembali kepada ajaran Islam yang haq (al-ruju’
ila al-haqq), yang sejalan dengan al-Qur’an dan al-Hadis.Pemerintah
berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan
membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya.
BAB III
Kesimpulan
Dari keterangan tersebut, ada
pelajaran yang sangat berharga yaitu betapa upaya generalisasi dalil-dalil
hukum pada semua masalah hukum tidak efektif dan kredibel dalam hal membumikan
tujuan-tujuan agama. Pengetahuan dalil sesungguhnya hanya mencerminkan setengah
dari proses berfatwa. Fatwa harus berangkat dari pertanyaan, harus berangkat
dari kasus.
Teori fatwa mengatakan dua kasus
yang sama tidak serta merta harus diberi hukum yang sama, sebab setiap kasus ia
memiliki karakteristik-karakteristik yang sangat spesifik. Dari perspektif
inilah sehingga perlu disosialisasikan bahwa hanya pengetahuan tentang
kasus-lah yang menjadi penentu jenis atau kualitas hukum atau fatwa bukan dalil
hukum.
Saran
Harapan
kami selaku pemakalah, semoga dengan terselesainya makalah MUI ini dapat
menjadikan para pembaca, khususnya teman-teman MPI supaya dapat memberikan
bimbingan dan tuntunan kepada kita dalam mewujudkan kehidupan beragama dan
bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta'ala.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahmat,M Imadadun.2000. Islam dan Indonesia. Bandung : Rosdakarya
Rahmat,Prof.2007.Ushul
Fiqh.Bandung: Pustaka Setia
Soejono Soekamto,Soejono.1989. Tata Negara dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Media Press
Sudi Prayitno,Sudi.2004. Peran Beberapa State Auxiliary Agencies Dalam Mendukung Reformasi
Hukum Di Indonesia.Jakarta: Kompas