Kamis, 19 Maret 2015

KISAH CINTA MBOK SINEM DAN SERDADU KOMPENI ( BARONGAN 1916 )

Sinem adalah wanita Aceh yang diperistri Midin, Serdadu Kompeni yang pada waktu itu ditugaskan di Aceh. Midin berasal dari Jawa, orang pribumi asli, tepatnya di Dusun Kersan Timbulharjo, Sewon, Bantul, Jogyakarta. Selama berumah tangga, pasangan Midin dan Sinem tidak dikaruniani anak. Pada tahun 1916, Midin pensiun, Sinem diboyong ke Jawa. Bagi Serdadu Kompeni, pensiun bukan berarti tidak bekerja lagi, karena sesampainya di Jawa tugas baru menunggu. Midin diperintahkan menjadi keamanan pabrik gula milik Kompeni di Pleret Bantul. Tiap hari Sabtu Midin pulang menemui Sinem. Kurang lebih 3 tahun, Midin dipindah ke Pabrik Gula Barongan. Di Barongan inilah Midin hampir tidak pernah pulang. karena ia jatuh hati kepada seorang gadis, Sadinem namanya. Tanpa sepengetahuan Sinem, Sadinem kemudian dinikahi Midin.
Sementara itu, Sinem di dalam kesunyiannya menapaki hidup sendirian. Suami yang ia setiai selama puluhan tahun, jarang sekali pulang. Untunglah Sinem teringat akan benda berkhasiat yang dibawa dari Aceh, yaitu sepotong Cula Badak. Dengan benda tersebut, Sinem mengobati para tetangganya yang sakit. Cara pengobatannya sederhana, cula badak di rendam di dalam air klenthing, pasien yang datang cukup menyebutkan penyakit dan keluhannya, kemudian Sinem mengambil air klenthing dan berdoa untuk kesembuhan pasiennya. Selesai berdoa, air tersebut diminum si pasien. Konon banyak pasien dengan berbagai macam penyakit disembuhkan. Oleh karenanya rumah Sinem tidak pernah sepi, ada secercah kebahagiaan, karena dalam kesendiriannya ia dibutuhkan dan berguna bagi sesamanya.

Beberapa tahun berlalu, pasangan Midin dan Sadinem membuahkan anak laki-laki, Slamet namanya. Bagaimanapun juga usaha Midin untuk menutupi hal tersebut, akhirnya diketahui Sinem. Maka Sinem memutuskan untuk datang ke Pabrik Gula Barongan, ingin bertemu dengan marunya dan menimang anaknya. Mengetahui Sinem datang di Barongan, Midin dan terlebih Sadinem ketakutan, tidak berani menemui Sinem. Namun setelah diyakinkan bahwa Sinem tidak membawa rencong untuk melukai Sadinem, seperti yang dibayangkan, akhirnya Sadinem dan Midin menemui Sinem. Dengan tulus, wanita Aceh tersebut menerima anak hasil pasangan antara suaminya dan Sadinem, seperti anak sendiri, bahkan sangat mengasihinya.
Pada tahun 1935, ketika Slamet berusia 7 tahun, Midin Reso Dikrama meninggal. Figur seorang bapak belum didapat darinya. Sedangkan dari Sadinem ibu kandungnya, ia juga tidak mendapatkan figur seorang ibu. Justru dari Mbok Sinem (ibu sepuh) Slamet mendapatkan figur ibu sejati. Bagi Slamet, Mbok Sinem adalah orang yang memberi perhatian paling besar dalam pertumbuhan kehidupannya. Ia juga mengajarkan pujian-pujian, nasihat-nasihat, dongeng-dongeng dan doa-doa.

Pada suatu pagi di tahun 1952, Sinem berbaring lemah, ditunggu 2 orang pembantunya. Setelah ia memakan jeruk pesanannya yang di bawa Slamet sepulang kerja di Kanisius Kidul Loji, ia berpesan kepada Slamet "Tak omongi ya Met, yen jenengku cilik kuwi Sinem. Saungkurku mengko, yen ana bot repot ing uripmu, nyebuta jenengku, Sinem, ngono ya. Lan kae ana Kyai Cula Badak gawane Bapakmu saka Aceh tulung rumaten." Untuk selanjutnya tidak ada kata keluar dari bibirnya, kemudian napas yang terakhir dihembuskan.
Slamet mengakhiri ceritanya, air matanya menetes, gambaran kesalehan dan kebaikan Mbok Sinem tiba-tiba menyeruak kembali dalam hidupnya. Kyai Cula Badak yang diwariskan Mbok Sinem masih disimpan dengan baik Di Usia 78 tahun ini, Slamet Djoyo Sumarto, mencoba mengingat-ingat cerita tutur yang disampaikan Sinem "Le, mula bapakmu ditugase ana Aceh kuwi kanggo ngancani Saradadu Landa yen pinuju patroli. Jalaran yen Saradadu Landa patroli dhewe, ora dikancani Saradadu Jawa, mesthi bakal direncong alias dipateni karo wong Aceh."
Mbok Sinem juga mengajari beberapa donga, antara lain:

Donga sebelum mandi :

"Nadyanta mung adus ning aja waton adus Le! Sadurunge nggebyur sepisanan kowe perlu ndonga mangkene :

Bismillahirrohmahirrohim.
Niat ingsun arep adus, adusku banyu suci,
ancik-ancikku sela panunggal,
gayung pitu sukma wolu,
babahan hawa sanga,
slamet kersaning Allah, (byuuuur)


Donga sebelum tidur

Le, supaya turumu kepenak, ning tetep waspada, sadurunge dongaa mangkene:

Bismillahirrohmahirrohim.
niat ingsun arep turu,
slemekku rasul,
bantalku iman,
kemulku Allah,
Laillahaillaallah Muhammadurrosulullah
kama jasmani,
sedulur papat kang nunggal pertapan, seje panggonan,
sriyah ariyah wadad bayu,
reksanen ragaku,
sak mangsa ana bebaya aku gugahen.

Mbok Sinem adalah sebuah figur yang patut diteladani. Ia merasa bahagia dengan memberi dan merasa sangat bahagia dengan menerima. Ketika masih sedikit orang berderma, karena jaman susah, Sinem telah melakukannya. Setiap Lebaran, ia membagi-bagikan uang kepada anak-anak kecil. Pada waktu mendapat punjungan atau bancakan, sebelum yang memberi pergi, Sinem langsung mencicipi makanan yang diberikan, sambil mengatakan bahwa masakannya enak sekali. Setiap menanak nasi dan memasak sayur, sebelum dimakan oleh keluarga, Mbok Sinem selalu menyisihkan dalam sebuah cawan dan diletakkan di meja khusus untuk para leluhur, Kaki-Nini. Baginya hidup adalah memberi, terlebih memberi kelegaan kepada orang lain, termasuk memberi kepada yang tidak kelihatan.

Hasil wawancara dengan Slamet atau Djoyo Sumarto, anak Mbok Sinem