MAKALAH
Sekaten sebagai Budaya Islam dalam
Membangun Masyarakat Berakhlak
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs.H.Edy
Yusuf Nur SS MM Msi MBA
Disusun
Oleh :
KELOMPOK
9
Mohammad Shofiyulloh (13490058)
Mohammad Shofiyulloh (13490058)
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
2014
1. Pengertian Sekaten sebagai Budaya Islam
Sekaten
berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain
yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh
seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain
juga berasal dari kata Sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat pelacuran
dan penyelewengan ), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak
hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan), Sakhotain
(menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan
selalu menghambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup
harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), Sekat (batas, orang hidup harus membatasi
diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan).[1]
Kerajaan
Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya Ngalam I) diadakan
perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali terlebih dahulu,
yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak sesuai dengan
ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat
yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya
upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah penyakit yang
banyak menyebabkan kematian warga
masyarakat. Atas nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan
masyarakat, maka Sultan Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan
Negara Tahunan yang dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang
(Wignyasubrata : 2). Tidak lama
kemudian, wabah penyakit tersebut menghilang dan rakyat hidup tenteram.
Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan pengganti
serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selalu diselenggarakan Raja
Hindu-Budha secara turun temurun.
Nama Sekaten itu sendiri
diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih
memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan
nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian
diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang
diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi hasil dari interaksi antara
budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan. Proses interaksi
tersebut dapat membantu mempercepat
penyebaran agama islam di Pulau Jawa. Di Yogyakarta sendiri sekaten yang
menjadi salah satu bentuk adat Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk pertama
kalinya diadakan oleh Sultan I Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri Sultan
Hamengkubuwono I. Itulah sebabnya, sejarah Sekaten di Kasultanan Yogyakarta
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat itu sendiri.[2]
Garebeg Maulud (Sekaten) pada masa
Hamengkubuwono I merupakan upacara Kerajaan yang melibatkan seluruh pegawai
Keraton, seluruh aparat Kerajaan, dan seluruh lapisan masyarakat. Sekaten yang
bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal itu juga
menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemusliman. Sekaten yang menurut
sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan Islam dalam membentuk akhlak
dan budi pekerti luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti Sri Sultan Hamengkubuwono I. Terbentuknya
tradisi Sekaten merupakan perwujudan dari masuknya dan tersosialisasinya Islam
ke Indonesia secara damai, karena Islam itu sendiri tidak mengenal kekerasan.
Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di pulau
Jawa. Dalam perkembangannya tradisi
Sekaten tidak lagi menjadi milik keraton atau kasunanan, tetapi masyarakat juga
merasa ikut. Bagi sebagian besar masyarakat di Provinsi DIY, baik masyarakat
perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara
religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan berkah,
juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman
keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan Senopati (Soelarto, 1996: 24). Dalam hal ini
masyarakat Yogyakarta yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud selalu mengadakan tradisi Sekatenan
menganggap upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan. Selain melaksanakan
tradisi leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad lamanya, masyarakat
juga yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam proses
pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat.
Tradisi Sekaten mengandung tiga
dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis. Makna religius, berkaitan
dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam dalam Kerajaannya,
sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang tercantum dalam
rangkaian gelarnya. Makna historis,
berkaitan dengan keabsahan Sultan dan
Kerajaannya sebagai ahli waris yang sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan
Mataram Islam. Makna Kultural, berkaitan
dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang
sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan
lama.[3] Keterangan diatas merupakan sejarah dari
perayaan Sekaten yang secara terus-menerus menunjukkan toleransi dalam sikap
religius dan sikap kultural bangsa Jawa yang merupakan kesatuan yang tidak
terpisahkan dari ratusan suku bangsa se-nusantara yang membentuk kepribadian bangsa Indonesia
pada masa kini (Soelarto, 1996 : 24).
2. Sejarah Perkembangan Sekaten
Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya
Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para
Wali terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap
tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan
bagi masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan
dengan ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul
wabah penyakit yang banyak menyebabkan kematian warga masyarakat. Atas
nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan
Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas
dan diselaraskan dengan ajaran Islam dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang.
Tidak lama kemudian, wabah penyakit reda dan rakyat hidup tentram. Sejak saat
itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan pengganti
serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selal diselenggarakan Raja
Hindu-Budha secara turun temurun. Pada perkembangannya perayaan Sekaten
(Garebeg Maulud) di Demak diikuti oleh daerah lain seperti Surakarta,
Yogyakarta, Cirebon, Banten dan Aceh. Khususnya di Yogyakarta,
Surakarta, dan Cirebon perayaan Maulud disebut Sekaten. Sekaten diperkenalkan
oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama
Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten
pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan
oleh Sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang
diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi nilai peninggalan dari
hasil interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan
Non Fisik.[4]
Proses interaksi tersebut secara langsung mempercepat proses Islamisasi di
Pulau Jawa. Istilah Sekaten berasal dari bahasa Arab kata syahadatain,
pengakuan percaya kepada ajaran agama Islam, tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah Rasul-nya.[5]
Sekaten selain berasal dari kata syahadatain,
juga berasal dari kata:
1)
Sahutain
:
menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng.
2)
Sakhatain
: menghilangkan perkara dua, yaitu watak
hewan dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan.
3)
Sakhotain
: menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara
budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.
4)
Sekati
:
setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan
buruk.
5)
Sekat
: batas, orang hidup harus membatasi diri
untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta tahun 1755 pecah menjadi dua,
ialah Kasunanan Surakarta yang beribukota di Surakarta (Sala) di bawah
pimpinan Sri Sunan Pakubuwono III dan Kasultanan Yogyakarta yang
beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota Yogyakarta yang
sekarang.
Jenderal
Daendels menurunkan Sri Sultan Hamengkubuwono II (Sultan Sepuh) dari tahta
Kerajaan dan menggantikannya dengan Putra Mahkota untuk menjadi Sultan yang
ke-III. Meski dalam suasana kemelut tetapi Sekaten tetap diselenggarakan.
Seperti waktu garebeg sijam Maulud dan Besar, Beliau (Sultan Sepuh)
dipersilahkan datang, Beliau duduk disebelah anaknya. Terbentuknya tradisi
Sekaten merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya Islam kebumi Nusantara
secara damai, karena memang Islam sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah
sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di Jawa. Dalam
perjalanan sejarah tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik Kerajaan saja,
tetapi rakyat DIY merasa ikut memilikinya (melu handarbeni).
Bagi sebagian besar masyarakat di
Propinsi DIY, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi
Sekaten selain dinilai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak khas
kejawen dengan segala hikmah dan berkah yang juga merupakan kebanggaan daerah
yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam
yang didirikan oleh Panembahan Senopati (Soelarto, 1996: 24).
3. Implementasi
Budaya Sekaten dalam Pembentukan Akhlak
Pelaksanaan tradisi
Sekaten jika dihubungkan dengan teori Kebudayaan Malinowski, yang mengemukakan
bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat yang memiliki
unsur kebudayaan itu.[6]
Dalam hal ini masyarakat Yogya yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud selalu
mengadakan tradisi Sekatenan menganggap Upacara Sekaten sangat perlu untuk
dilaksanakan. Selain melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan
selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan
mempunyai peran penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur
masyarakat. Sekaten sebagai instrumen dalam memenuhi kebutuhan religius tetap
dilaksanakan oleh masyarakat penerusnya dan mempunyai beberapa makna dan
manfaat yang sangat penting sekali. Bagi Keraton tradisi Sekaten tidak hanya bermakna
religius, tetapi juga bermakna historis dan kultural.
A. Makna
Religius
Berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam
dalam Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang
tercantum dalam rangkaian gelarnya : Sayidin Panatagama Kalifatullah.
Makna historis, berkaitan dengan keabsahan Sultan dan Kerajaannya
sebagai ahli waris sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram-Islam.
B. Makna
Kultural
Berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan
para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan lama.[7]
Dalam Upacara Tradisi Sekaten terdapat gunungan yang merupakan simbol atau
lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam
gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi
masyarakat pendukungnya. Adapun nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam
setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung, sirih,
dan pecut yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan
Surakarta tersebut sebagai berikut:
1)
Gunungan
kakung; Gunungan selain bermakna kesuburan juga mempunyai arti simbolik lain,
gunungan kakung melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan
sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak,
sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan
dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar untuk kejayaan
keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan
sekaten. Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital
laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan adanya
proses penciptaan manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di
samping itu gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang
mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api,
hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya.
Manusia yang dimaksud adalah seorang ksatria utama yang menggambarkan seorang
figur manusia ideal bagi orang Jawa.
2)
Bendera
merah putih; Bendera ini ditempatkan pada ujung gunungan, berjumlah lima
buah sebagai lambang dari sebuah negara atau kerajaan. Warna merah bermakna
semangat atau kebenaran, sedangkan warna putih.
4. Prosesi
Sekaten sebagai Sarana Pengembangan Akhlak
Perayaan sekaten sebagai upacara
tradisional keagamaan islam merupakan ekspresi masuk dan tersosialisasinya
islam ke bumi nusantara. Tradisi sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu,
kulturisasi, religious, dan historis.
Sekaten yang menganut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan islam
dalam membentuk akhlak dan budi luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti
Sri Sultan Hamengkubuwana I.[8]
Dengan adanya dua pernyataan di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
nilai sekaten mempunyai peran penting dalam dakwah islam, karena dalam
menyebarkan suatu agama dalam masyarakat yang sangat meninggikan adat tidaklah
mudah, seperti apa yang terjadi pada negri ini di awal masuknya ajaran islam.
Hindu-Budha merupakan suatu
kepercayaan awal yang masuk ke Indonesia sebelum islam datang. Hal tersebut
terbukti ketika kita mulai merunut kembali sejarah pada abad silam ketika agama
atau kepercayaan mulai berkembang di Indonesia. Pada abad ke-4 hindu datang
dengan segala kebudayaan dan ajarannya yang meninggalkan bukti sejarah berupa
Candi Prambanan, Candi Tikus, dan candi-candi bercorak hindu lainnya.
Pada abad selanjutnya budha pun mulai
masuk dan berkembang ke nusantara dan yang terakhir adalah islam. Islam datang
dibawa oleh para pedagang Gujarat, Arab, dan Persi melalui berbagai cara
seperti perdagangan atau perkawinan. Untuk mengenalkan islam yang datangnya
setelah Hindu-Budha bukanlah suatu hal yang mudah.
Kiprah para wali (Penyebar Islam
di Pulau Jawa) atau yang lebih dikenal dengan Walisanga sangat lah penting
karena mereka memiliki siasat tersendiri untuk memperkenalkan islam kepada
masyarakat Indonesia yang masih kental dengan kepercayaan lamanya yaitu
Hindu-Budha, ditambah dengan keadaan masyarakat jawa yang terkenal dengan
sifatnya yang konservatif dan sulit menerima ajaran baru apalagi yang
bertentangan dengan adat jawa.
Di awal berdirinya Keraton
Yogyakarta Hadiningrat inilah para leluhur islam mengenalkan agamanya yang
dimasukkan dalam budaya Hindu-Budha dan jawa yang sering dikenal dengan sebutan
Islam Abangan atau Islam Kejawen tanpa meninggalkan pokok-pokok ajaran islam
itu sendiri. Salah satu cara memasukkan islam dalam budaya jawa yaitu dengan
diadakannya upacara-upacara adat yang dilakukan setiap hari-hari besar agama
islam. Seperti upacara adat yang terkenal di Yogyakarta adalah Upacara Sekaten.[9]
Sekaten dilaksanakan guna
memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dewasa ini nilai sekaten yang
merupakan salah satu jalan dakwah islam mulai mengalami degradasi karena saat
ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik local maupun
interlokal.
Salah satu sarana dakwah para wali dalam mengembangkan
islam di ranah jawa ini adalah dengan sekaten. Sekilas mendengar nama sekaten
sama sekali tidak mengisyaratkan suatu ritual yang berbau islam. Akan tetapi
sekaten sebenarnya sarat makna dan mengandung nilai islami.
Istilah sekaten berasal dari bahasa arab yaituanlaa ilaa haillallah wa asyhadu
anna Muhammadar rosulullah”, yang artinya Tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad adalah utusannya. Syahadat inilah yang menjadi syarat keislaman
seseorang yang benar-benar ingin memeluk islam. Karena sekaten ini berkembang
di jawa, maka syahadatain lebih mudah diucapkan oleh masyarakat jawa
dengan sebutan sekaten.
Sekaten sendiri memiliki makna dalam bahasa jawa yang berarti sekati yang
artinya adalah setimbang. Tentunya diharapkan agar manusia bisa menimbang hal
yang baik dan yang buruk. Sehingga ketika kita menyebut kata sekaten kita
selalu diingatkan agar selalu berhati-hati dalam menimbang suatu hal.
Sekaten diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak pada abad 16. Saat itu
orang jawa beralih memeluk Agama Islam dengan mengucap syahadatain. Oleh karena
itu, penggunaan nama sekaten pada perayaan itu sangat terkenal. Perayaan
sekaten ini menjadi salah satu perayaan turun temurun di Keraton Yogyakarta sehingga
menjadi perayaan tahunan yang juga dirayakan oleh masyarakat.[10]
Sejarah sekaten ini berawal dari Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta
tahun 1755 yang kemudian pecah menjadi 2, ialah Kasunanan Surakarta yang
beribukota di Sala di bawah pimpinan Sri Sultan Pakubuwana III dan Kasultanan
Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah di kota
Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuwana X. Pemecahan Kerajaan
Mataram menjadi 2 ditentukan dalam perjanjian Gianti.
Pusaka keraton dibagi 2, seperti halnya gamelan Kasunanan Surakarta memperoleh
gamelan Kyai Guntursari dan Kasultanan Ngayogyakarta mendapat gamelan Kanjeng
Kyai Gunturmadu. Supaya seimbang lalu dibuat perangkat gamelan lainnya yang diberi
nama Kanjeng Kyai Nagawila, yang nantinya gamelan ini digunakan dalam setiap
perayaan sekaten dan menjadi alat music khas perayaan sekaten.
Sekaten yang menjadi salah satu bentuk upacara adat Keraton Kasultanan
Yogyakarta pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I. Sehingga
sejarah sekaten menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah berdirinya
Kraton Yogyakarta. Sri Sultan berkehendak menyelenggarakan upacara yang selalu
diselenggarakan oleh raja-raja sebelumnya. Hal ini sebagai usaha melestarikan
adat dan menunjukkan sikap tradisional orang jawa dalam memuliakan leluhurnya.
Adanya upacara sekaten juga ini
tidak bisa terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang didirikan oleh
Walisanga pada tahun 1477 M. Awalnya masjid ini hanya berfungsi sebagai tempat
interaksi antara Allah dengan hambanya. Seiring berjalannya waktu masjid ini
menjadi multi fungsi karena digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan, tempat
musyawarah para wali, dan sebagai prasarana penyelenggaraan perayaan sekaten yang
merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal 12
bulan Maulid. [11]
Sekaten bukan saja upacara yang berlangsung dalm waktu yang singkat, tetapi
sekaten melalui beberapa ritual yang tertata rapi dan penuh makna. Di bawah ini
adalah serangkaian prosesi dari awal mulainya upacara sekaten dimulai sampai
penutup.
1)
Perayaan Upacara Sekaten diawali dengan diadakannya slametan atau wilujengan
yang memiliki tujuan untuk mencari ketenangan. Dengan adanya slametan ini berarti
dimulali lah pembuatan gunungan. Perayaan ini juga menjadi pertanda akan adanya
kegiatan pasar malam perayaan sekaten. Pasar malam ini berlangsung kurang lebih
40 hari sebelum perayaan grebeg maulud tiba.
2) Satu
minggu sebelum puncak acara, merupakan adat kebiasaan yang harus dilakukan
yaitu mengeluarkan gamelan pusaka dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk
diletakkan di pagongan utara dan pagongan selatan atau miyos gongso. Selama
satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali hari Jum’at.
3) Rangkaian
upacara sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik, upacara ini sebagai
awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara ini diawali dengan iringan
gejog lesung yang dilakukan oleh abdi dalem konco gladhak. Tujuannya agar dalam
pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara dimulai diberi
sesaji oleh abdi dalem agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami
hambatan. Kemudian upacara siap dimulai.
4) Acara
selanjutnya dilaksanakan miyos dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini
dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi dalem keraton,
dan mas jogja. Miyos dalem ini merupakan pembacaan sirotun nabi (Riwayat hidup
Nabi Muhammad). Sebelum miyos dimulai Sri Sultan menyebar udhik-udhik di depan
pintu pagongan selatan dan pagongan utara. Miyos dalem berakhir dengan ditandai
pelaksanaan kondur gongsu atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton. Pada saat
miyos ini Sri Sultan menuju ke masjid agung didahului 4 bergodo prajurit.
Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan upacara sekaten yang akan mencapai
puncak acara pada keesokan harinya.[12]
5) Sebagai
rangkaian upacara terakhir dari tradisi sekaten yaitu puncak acara grebeg
maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya hajad 6 gunungan tepat tanggal 12
bulan Maulud. Gunungan dibawa ke masjid untuk didoakan yang dipimpin oleh
penghulu dan kemudian gunungan menjadi rebutan masyarakat yang menonton.
Sekaten yang seharusnya menjadi sarana dakwah bernafaskan religi, sejarah, dan
kultur kini seakan hanya menjadi pelengkap saja dan tiada lagi menjadi
prioritas. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang ironis terkait dengan tujuan
awal para wali dan leluhur penggagas terlaksananya sekaten sebagai upacara adat
ajang penyebaran agama islam.
Jika kita sedang menyaksikan upacara sekaten ada baiknya jika kita juga
menyempatkan diri untuk menela’ah makna dan nilai-nilai religi, sejarah, dan
kebudayaan yang tersirat dalam setiap ritualnya. [13]
Ø Nilai Religi
Di dalam salah satu ritual sekaten ada sesi
pembacaan riwayat Nabi Muhammad sebagai salah satu utusan Allah yang
diperntahkan sebagai rahmatan lil alamien yang memiliki kepribadian dan akhlak
yang mulia, sehingga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk
akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi ini pun dimulai sebagai upacara religius
keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.
Ø Nilai Sejarah
Di lihat dari sejarahnya sekaten tidak bisa
terlepas dari peran para wali sebagai penyebar agama islam di Pulau Jawa yang
menjadikan sekaten suatu sarana dakwah islam dan berkaitan dengan keberadaan
sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram sebagai pencetus awal
diadakannya sekaten. Sehingga yang harus dilakukan untuk merealisasikan
nilai-nilai sejarah adalah dengan tetap memaknai sekaten sebagai media dakwah
dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari
Ø Nilai Budaya
Nilai sekaten sangat relevan dengan kebudayaan,
karena sekaten merupakan percampuran antara kebudayaan jawa, Hindu-Budha, dan
islam. Dimana kebudayaan jawa sangat gemar sekali menyelipkan makna tersirat
dalam bentuk symbol atau lambang pada setiap kejadian penting, dan kebudayaan
Hindu-Budha yang peribadatannya sangat erat dengan ritual-ritual. Hal ini lah
yang menjadi inspirasi para wali dalam mengemas ajaran islam dalam budaya jawa,
hindu dan budha yang terangkai dalam upacara adat sekaten. Di dalam sekaten ada
yang disebut gunungan yang mempunyai arti lambang kemakmuran, digunakan sirih
yang mengeluarkan warna merah yang berarti diharapkan bisa menyadarkan manusia
akan dirinya, nginang memiliki makna dapat membuat awet muda, dan telur merah
sebagai lambang dari kehidupan.
5. Prosesi
Tradisi Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Upacara Sekaten merupakan upacara dan perayaan Keraton terbesar, karena
pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW,
sehingga dalam melaksanakan persiapan perayaan Sekatenan, khususnya Abdi Dalem
Keparak Para Gusti harus benar-benar dalam keadaan suci.[14]
Ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian dan kekhusyukan nilai religius dalam
peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 bulan
Maulud. Pada peringatan upacara Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Abdi Dalem tetap mengenakan pakaian tradisional yaitu baju pranakan beserta
perlengkapannya dan baju kebesaran yang lain sesuai dengan tugasnya waktu
pelaksanaan Sekatenan. Pelaksanaan upacara Sekaten pada masa pemerintahan
Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X banyak terdapat kesamaan, baik
dari rangkaian upacara maupun gunungan yang dipergunakan dalam upacara Garebeg
Maulud itu. Penyelenggaraan upacara Sekaten ternyata masih dapat diterima baik
oleh masyarakat setempat walaupun zaman banyak mengalami perubahan. Upacara
Sekaten tidak hanya dipadati oleh kalangan pemuda-pemudi yang ingin mencari
hiburan, tetapi juga masyarakat yang sudah lanjut usia juga memadati Alun-alun
untuk mendapatkan berkah. Itu dapat diperhatikan ketika gunungan diperebutkan
oleh masyarakat. Sebagian masyarakat berusaha untuk mendapatkan bagian dari
gunungan itu, seperti hiasan telur ataupun hiasan kue-kue.
Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka
akan mendapatkan berkah.[15]
Biasanya setelah mereka mendapatkan bagian dari gunungan itu, mereka meletakkan
bagian dari gunungan itu di sawah mereka, tujuannya agar sawah yang mereka
miliki dapat tumbuh subur dan panen dapat berhasil. Selain bagian dari
gunungan, yang menjadi sasaran dari masyarakat ialah hiasan bunga melati yang
dipakai pada keris Pandega atau Manggala Yuda GBPH. Drs.H. Prabu Yudaningrat,
M.M diminta oleh masyarakat. Itu semua karena adanya rasa kepercayaan
masyarakat Jawa terhadap kekuatan lain. Mereka percaya bahwa dengan mendapatkan
sesuatu milik keluarga Keraton, mereka akan mendapatkan berkah dari benda
yang dimilikinya. Secara garis besar, upacara Sekaten pada masa Hamengkubuwono
IX dan Hamengkubuwono X melibatkan peranan Abdi Dalem dalam pelaksanaan dan
perkembangannya serta banyak terdapat kesamaannya. Adapun rangkaian upacara
Sekaten pada Hamengkubuwono IX dan Hamengkubuwono X melibatkan Abdi Dalem
secara signifikan, diantaranya pada kegiatan :
a.
Perayaan
Upacara Sekaten pertama kali diawali dengan diadakannya Slametan atau Wilujengan, bertujuan untuk mencari ketentraman dan ketenangan. Slametan ini
menandai dimulainya pembuatan ubo rampai atau perlengkapan gunungan.[16]
Ini juga menandai kegiatan Pasar Malam Perayaan Sekaten dimulai. Pasar Malam
ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan Garebeg Maulud tiba. Pada
perayaan Sekaten ini masyarakat banyak yang berkunjung hanya sekedar
untuk mencari hiburan atau membeli makanan khas yang dijual pada Pasar Malam
itu.
b.
Satu
minggu sebelum puncak acara Sekaten (jum’at pahing) jam 21.00 WIB gamelan
dikeluarkan dari Keraton dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk kemudian
diletakkan di Pagongan Utara dan Pagongan Selatan atau Miyos Gongso oleh Abdi
Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo yang bertugas dalam bidang
kesenian dan Abdi Dalem Konco Gladhag yang membawa gamelan serta perangkatnya
dari Keraton ke Pagongan Utara dan Pagongan Selatan Masjid Agung Yogyakarta.
Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali pada jam-jam tertentu yaitu
saat azan dikumandangkan dan hari jum’at.
c.
Gamelan
dibunyikan oleh Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punokawan Kridhomardowo. Instrumen
Jawa atau gamelan dipakai sebagai bentuk kesenian yang paling digemari rakyat
Jawa, karena dapat dipakai sebagai media atau alat untuk dakwah Islam dengan
membunyikan gamelan Jawa dan segala macam bentuk keseniannya maka rakyat
akan datang.
d.
Upacara
Numplak Wajik, yang bertempat di Magangan Kidul Upacara Numplak Wajik
sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara Numplak Wajik
diawal dengan iringan Gejog Lesung yang dilakukan oleh Abdi Dalem Konco Gladhag.
Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara
ini dimulai biasanya diberikan sesaji oleh Abdi Dalem Keparak Para Gusti agar
dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Pada
upacara Numplak Wajik ini, Abdi Dalem Bupati Kawedanan Hageng Punokawan Widyobudoyo
juga hadir untuk memimpin jalannya upacara Numplak Wajik.
e.
Acara
selanjutnya, jam 18.30 WIB dilaksanakan Miyos Dalem di Masjid Agung
Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar Keraton, para Bupati,
Abdi Dalem Keraton dan masyarakat Yogya. Selain itu, juga ada banyak wisatawan
mancanegara yang sengaja hadir untuk menyaksikan Miyos Dalem milik sejuta
umat itu. Pada upacara Miyos Dalem, dihadapan Sri Sultan dan diberikan
kepada Pakualaman inipun menjadi rebutan masyarakat sekitar yang hadir. Setelah
semuanya berjalan lancar, kemudian pandega melapor kepada manggala yuda bahwa
Upacara Garebeg Maulud telah selesai, lalu manggala yuda memberikan izin agar
semua prajurit ditertibkan. Semua prajurit kembali ke Kagungan Dalem
Pracimasana melalui Bangsal Siti Hinggil dan Bangsal Ponconiti.[17]
Dengan demikian, upacara Sekaten telah berakhir dengan ditandai
pelaksanaan puncak acara Garebeg Maulud Upacara Sekaten dari zaman
Sultan-sultan terdahulu sebagai upacara adat Keraton, dan sampai sekarangpun
upacara Sekaten tersebut masih dianggap sebagai upacara yang sudah dimiliki
oleh KeratonYogyakarta selama bertahun-tahun.
Perayaan sekaten bertepatan
dengan hari raya Maulud Nabi, yang merupakan tradisi kelanjutan para wali.
Gamelan ditabuh saat sekaten dengan maksud untuk menarik para masyarakat.
Sekaten dilaksanakanjuga untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad S.a.w.
Didalam sekaten karena
pengunjungya sangat banyak maka diadakan kotbah-kotbah yang bernuansa Islam
untuk menggugah keimanan mereka agar menghayati perintah Nabi.
a.
Makna Sekaten dalam
Dakwah Islam
Sejarah perayaan sekaten tidak
terlepas dari peran penting Masjid Agung Demak yang didirikan Walisanga. Masjid
inilah yang dijadikan sebagai tempat perayaan lahirnya Nabi Muhammad.
Penggunaan nama sekaten syarat makna dan nilai. Kata sekaten diambil dari kata
syahadat yang merupakan syarat keislaman seseorang. Di jawa kata syahadatain
ini lebih mudah diucap dengan kata sekaten.
Prosesi ritual sekaten diawali
dengan adanya selametan dan dilengkapi dengan dibukanya pasar malam. Sebelum
puncak acara, dilakukan pemindahan gamelan dari keraton untuk di bawa ke
pagongan utara dan selatan. Rangkaian upacara selanjutnya adalah numplak wajik
yang diiringi gejok lesung. Kemudian dilaksanakannya acara miyos dalem(
Pembacaan riwayat Nabi Muhammad) di Masjid Agung. Prosesi terakhir dalam
sekaten yaitu grebeg maulud yang merupakan puncak acara dan ditandai dengan
dikeluarkannya gunungan yang akan diperebutkan masyarakat.
Sekaten bukan lah upacara adat
biasa, akan tetapi sekaten memiliki nilai dan makna yang tersirat dalam setiap
prosesi ritualnya. Seperti adanya nilai religi, sejarah, dan budaya. Dan
hal itu akan tampak jika kita benar-benar mau mengkajinya lebih dalam.
Sebagai masyarakat jawa yang
terkenal dengan adat ketimuran dan selalu menjaga amanah dari para leluhurnya
agar senantiasa melestarikan upacara adat yang diprakarsai oleh para leluhur
seperti upacara sekaten yang penuh misi sebagai sarana dakwah islam. Tidak ada
salahnya jika sekaten yang dari masa ke masa selalu mengalami perubahan dan
kemajuan, karena mengingat adanya perkembangan zaman. Akan tetapi tidak
seharusnya hal itu mengurangi pokok-pokok dan nilai yang terkandung di
dalamnya. Apalagi sampai merubah tujuan awal dari sekaten itu sendiri.
b. Sejarah Sekaten di Jadikan Upacara Adat Keraton Yogyakarta
Asal mula sekaten
dimuali pada jaman demak jaman mulainya kerajaan islam ditanah jawa. Sekaten
diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama islam karena orang
jawa pada waktu itu menyukai gamelan, maka pada hari raya islam yaitu pada hari
lahirnya nabi Muhammad SAW di masjid Agung dipukul gamelan, sehingga orang
berduyun-duyun datang dihalaman masjid untuk mendengarkan pidato.
Mengenai sejarah
sekaten ternyata berawal dari kerajaan Mataram yang ber-ibukota di surakarta
tahun 1755 yang kemudian pecah menjadi 2, ialah kasunanan Surakarta yang
ber-ibukota di sala dibawah pimpinan Sri Sultan Pakubuana III dan kesultanan
Yogyakarta yang ber-ibukota di Ambar Ketawang Gamping, kemudian pindah dikota
Yogyakarta di bawah pimpinan Sultan Hamengkubuana. Pemecahan kerajaan Mataram
menjadi 2 ditentukan dalam perjanjian Gianti.
Pusaka keraton
dibagi menjadi 2, seperti hal-nya gamelan kasunanan surakarta memperoleh
gamelan Kyai Guntur Sari dan kesultanan Ngayogyakarta mendapat gamelan kanjeng
Kyai Guntur Madu. Supaya seimbang dibuat perangkat gamelan lainnya yang
diberinama kanjeng Kyai nagawilaya, yang nantinya gamelan ini digunakan dalam
setiap perayaan sekaten dan menjadi alat musik khas perayaan sekaten.
Sekaten yang menjadi
salah satu bentuk upacara adat kasultanan Yogyakarta pertama kali diadakan oleh
Sri Sultan Hamengkubuana I sehingga sejarah sekaten menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari sejarah berdirinya keraton Yogyakarta. Sri Sultan berkehendak
menyelenggarakan upacara yang selalu diselenggarakan oleh raja-raja sebelumnya.
Hal ini sebagai usaha melestarikan adat dan menunjukan sikap tradisional orang
jawa dalam memuliakan leluhurnya.
c. Makna yang terkandung dalam setiap Ritual yang Merupakan Sarana
Penyebaran Agama Islam
Saat ini nilai
sekaten yang merupakan salah satu jalan penyebaran agama islam mulai mengalami
degradasi karena saat ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan
masyarakat baik lokal maupun interlokal. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang
ironis, terkait dengan tujuan awal para wali terlaksananya sekaten sebagai
upacara adat ajang penyebaran agama islam.
Salah satu makna
religi yang terkandung didalam salah satu ritual sekaten ada sesi dari
pembacaan riwayat nabi Muhammad SAW sebagi salah satu utusan Allah yang
diperintahkan sebagai Rahmatan Lil-alamien yang memiliki kepribadian dan akhlak
yang mulia, sehigga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk
akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi inipun dimulai sebagai upacara religius
keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.
DAFTAR
PUSTAKA
Soelarto, B. 1996. Garebeg Di Kasultanan Yogyakarta. Yogyakarta : Kanisius.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. jakarta : Balai Pustaka.
GPH. Poeger. 2002. Sekaten.
Karaton Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta
KRT. Haji Handipaningrat.
Perayaan Sekaten. Surakarta: Kapustakan Sono Pustoko Karaton Surakarta.
Wignyasubrata. Sekaten di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta : Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
Sri Sultan Hamengkubuwono X di Keraton Nyayogyakrta Hadiningrat.
Semarang : Universitas Negeri Semarang. Saddhono, Kundharu._.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan : Tradisi Sekaten di
Keraton Kasunanan Surakarta.
Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Agustina Noor Rahmawati. 2002.
Sekaten Tahun Dal dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat
Surakarta.
Surakarta: Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Anton Moeliono
(penyunting). 1996.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Herusatoto,
Budiono. 1987.
Basid Adnan, 1996, Sejarah
Masjid Agung dan Gamelan Sekaten di Yogyakarta, yayasan
Mardikintoko,Sala.
Arifin,
muhammad,Sejarah Kebudayaan Islam,PT Bintang Ilmu,Surabaya,2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar